Monolog I
Sendirian, tanpa sepengetahuan siapa pun, sang dewi memberiku kesempatan
untuk bertemu dengannya, dan aku membuat kesepakatan dengannya.
Itu
adalah sebuah perjanjian rahasia: sebuah kontrak sekaligus tantangan. Aku
mengungkapkan kebenaran dalam hatiku.
—Saya juga mulai mencintainya.
—Saya datang untuk mencintai anak itu karena hati anda.
Pengakuan aku menimbulkan kejutan yang tidak pernah ditunjukkan oleh sang
dewi di wajahnya.
"Itu tak terduga."
"Tapi memang begitulah adanya."
Dia
bergumam, mengakui pengakuanku.
Setelah mendapatkan pengertiannya, aku mengungkapkan usulanku.
Aku
hanyalah seorang yang palsu. Aku mengerti betul bahwa aku hanyalah alatnya.
Tetapi aku bertanya kepadanya apakah mungkin untuk memberikan aku hanya
sebagian kecil dari satu hari selama festival panen.
—Saya ingin menghabiskan satu hari bersamanya dan melihat siapa di antara
kami yang bisa memenangkan hatinya. Pertandingan yang adil adalah apa yang saya
harapkan, Nona.
—Maukah Anda memberi saya kesempatan?
Itu
tidak tahu malu. Dengan kata lain sombong.
Aku
sepenuhnya sadar akan hal itu, tapi aku menolak untuk menyerah begitu saja.
Tidak ada jalan untuk kembali. Jika aku membiarkan kesempatan ini berlalu
begitu saja, aku tahu aku akan menyesalinya seumur hidup. Bulir keringat
menetes di pipi-ku, tetapi pandangan-ku tidak pernah meninggalkan matanya.
Sang dewi terdiam mendengar permintaanku, tenggelam dalam pemikiran yang
mendalam di atas singgasananya.
Dia
tidak tahu. Dia tidak memiliki firasat apapun tentang rencanaku. Pengkhianatan
yang sedang aku rencanakan. Tapi meskipun begitu, bahkan jika itu adalah mimpi
bodoh yang tidak pantas aku dapatkan, aku sangat ingin memenuhi keinginan yang
menjengkelkan ini—
Apakah permohonanku telah mempengaruhinya?
Dia
bilang dia akan menerima lamaranku dengan sebuah syarat.
—Jika penyamaranmu ketahuan, itu akan dianggap sebagai kerugianmu.
—Sejak saat itu, Kau akan dilarang untuk terlibat dengannya dengan cara
apa pun.
—Kau
tidak akan pernah diizinkan untuk bertemu dengannya lagi.
Itu
tak terelakkan. Aku tidak pernah punya pilihan lain selain menyetujuinya. Aku
mengakui penerimaanku atas persyaratannya.
"Lakukan yang terbaik."
Sang dewi tersenyum. Dan kemudian matanya menyipit secara provokatif.
"Dan aku juga akan menikmati perayaan ini sesuka hatiku."
Tentu saja, aku hanya bisa mengangguk sebagai tanggapan.
Ini akan menjadi pertandingan yang adil.
Karena akulah yang mengusulkan pertandingan ini, tidak akan ada kata
mundur dari perkataanku meskipun aku harus bermain dengan aturan seorang dewi
yang tidak bisa dilanggar.
Jarum jam sudah mulai bergerak. Hanya ada satu pikiran dalam hatiku.
Tolong biarkan keinginanku menjadi kenyataan...